Mendidik anak merupakan perkara yang mulia tapi gampang-gampang
susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap orang tua tentu
menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji, tapi
di sisi lain, mayoritas orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega
untuk tidak menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-hal
yang akan merusak pembinaan akhlaknya.
Sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita
meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk kebaikan hidup kita dan
keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam al-Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ
بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ
مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Rabb-mu
(Allah Subhanahu wa Ta’ala), penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada
(hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari
perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.’”
(QS. Yunus: 57-58).
Dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, secara khusus Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman akan besarnya
fitnah yang ditimbulkan karena kecintaan yang melampaui batas terhadap
mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka…”
(QS. at-Taghabun: 14).
Makna “menjadi musuh bagimu” dalam firman-Nya adalah “melalaikan kamu
dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan
maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[1]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “…Karena jiwa manusia
memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat
ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar
(jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan
istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat.
Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya….”[2]
Fenomena kenakalan anak
Fenomena ini merupakan perkara besar yang cukup memusingkan dan menjadi
beban pikiran para orangtua dan pendidik, karena fenomena ini cukup
merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali kaum
muslimin.
Padahal, syariat Islam yang sempurna telah mengajarkan segala sesuatu
kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, apalagi
masalah besar dan penting seperti pendidikan anak.
Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya
oleh seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu
sampai (masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika
buang air besar atau ketika buang air kecil….”[3]
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan agama ini Dialah
yang menciptakan alam semesta beserta isinya dan Dialah yang maha
mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk memperbaiki
keadaan mereka?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta besrta isinya) Maha
Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui
(segala sesuatu dengan terperinci).”
(QS. al-Mulk: 14).
Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi adalah, untuk mengatasi
fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum muslimin justru lebih percaya
dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang diajarkan
oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal keagungan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela mencurahkan waktu,
tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada
anak-anak mereka.
Mereka lupa bahwa orang-orang kafir tersebut sendiri tidak mengetahui
dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri, karena mereka
sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran Allah ‘Azza wa
Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk diri
mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah,
maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka
itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. al-Hasyr: 19)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Renungkanlah ayat
(yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu makna yang agung dan
mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka Allah
akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak
mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan,
dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia
dan akhirat. Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan
bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa
kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian
dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya
dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu
melampaui batas.”
(QS. al-Kahfi: 28).
Dikarenakan dia lalai dari mengingat Allah, maka keadaan dan hatinya pun
melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan
sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa dan hatinya.
Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah,
keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk
ke jalan (yang benar).”[4]
Maka orang yang keadaannya seperti ini, apakah bisa diharapkan
memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk dirinya
sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa diusahakannya? Mungkinkah
orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan metode pendidikan anak
yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran mereka jauh dari
petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami kebenaran yang hakiki?
Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?
Sebab kenakalan anak menurut syariat Islam
Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak,
bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah
bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia
dari jalan-Nya yang lurus.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ.
ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat,
sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian
saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari
kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’”
(QS. Al-A’raf: 16-17).
Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan
berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak
pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya
selanjutnya setelah manusia itu dewasa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang
artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam
keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan
mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[5]
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan
(godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“[6]
Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk
menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang
baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan
godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah
dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[7]
Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu
dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan
dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia)
dilahirkan di atas fithrah (kecenderungan menerima kebenaran Islam dan
tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama)
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[8]
Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia
memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau
dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima
kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan
pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[9]
Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, “Hadits yang agung ini
menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap
(pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut
dalam penyimpangan dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada
kekafiran dan kefasikan….
(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak
memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan
dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama),
suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang
bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain sebagainya,
maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa)
praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan
(akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil
yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang
menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki)
rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah
(manusia)’.”[10]
Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya,
“Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul)
yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup
al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi
memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau
(minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup
al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar
pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap
darinya.”[11]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan
orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh
baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut
sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk
akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan
dengan selalu menyertai mereka.[12]
Ketiga, sumber bacaan dan tontonan
Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat
mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya
dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.
Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah
satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف
“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling
bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak
bersesuaian akan saling berselisih.”[13]
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur
untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang
sangat efektif dan bermanfaat.
Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ
فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى
لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah
yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang
kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman.”
(QS. Hud: 120).
Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan),
dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus
sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti
(orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal
shalih, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[14]
Beberapa contoh cara mendidik anak yang nakal
Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara
pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan
akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk
meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh
pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke
berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan
makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di
hadapanmu.“[15]
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin
mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya
dihadapanmu.”[16]
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat
pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu
merupakan pendidikan bagi mereka.”[17]
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota
keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga
takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan
buruk dan tercela.[18]
Imam Ibnul Anbari rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk
(alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang
beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[19]
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu rahimahullah[20] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti:
menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau
menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka
waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan
lain-lain.
Bolehkah memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah
kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu
mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat
(lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta
pisahkanlah tempat tidur mereka.“[21] Hadits ini menunjukkan bolehnya
memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang
melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang
memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya
–dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut
tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[22]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya,
“Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau
meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/
lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan
memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak
tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil
pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh,
karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan
pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan)
jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja)
pukulan tersebut tidak terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat
(kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena
meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun
hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum
mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan
dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan
pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang
ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh
dipukul).”[23]
Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[24]
Di antara cara tersebut adalah:
1. Memukul wajah
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka
hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[25]
2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[26]
3. Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “(Suatu hari)
aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar
suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan
tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang
sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia
adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang
berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’
Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda,
‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk
(menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata,
‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[27]
4. Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan
sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah
lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[28]
5. Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur)
dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah
yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[29]
Penutup
Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara
mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk
mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon
kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang
maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita
taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik
dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan
akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Sumber : manisnyaiman.com