Minggu, 21 Oktober 2012

ANAKKU SAYANG

A. 1O KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK

Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang mungkin Anda tidak sadari terjadi dalam mendidik anak Anda :
1. Kurang Pengawasan
Menurut Professor Robert Billingham, Human Development and Family Studies – Universitas Indiana, “Anak terlalu banyak bergaul dengan lingkungan semu diluar keluarga, dan itu adalah tragedi yang seharusnya diperhatikan oleh orang tua”. Nah sekarang tahu kan, bagaimana menyiasatinya, misalnya bila anak Anda berada di penitipan atau sekolah, usahakan mengunjunginya secara berkala dan tidak terencana. Bila pengawasan Anda jadi berkurang, solusinya carilah tempat penitipan lainnya. Jangan biarkan anak Anda berkelana sendirian. Anak Anda butuh perhatian.
2. Gagal Mendengarkan
Menurut psikolog Charles Fay, Ph.D. “Banyak orang tua terlalu lelah memberikan perhatian – cenderung mengabaikan apa yang anak mereka ungkapkan”, contohnya Aisyah pulang dengan mata yang lembam, umumnya orang tua lantas langsung menanggapi hal tersebut secara berlebihan, menduga-duga si anak terkena bola, atau berkelahi dengan temannya. Faktanya, orang tua tidak tahu apa yang terjadi hingga anak sendirilah yang menceritakannya.
3. Jarang Bertemu Muka
Menurut Billingham, orang tua seharusnya membiarkan anak melakukan kesalahan, biarkan anak belajar dari kesalahan agar tidak terulang kesalahan yang sama. Bantulah anak untuk mengatasi masalahnya sendiri, tetapi jangan mengambil keuntungan demi kepentingan Anda.
4. Terlalu Berlebihan
Menurut Judy Haire, “banyak orang tua menghabiskan 100 km per jam mengeringkan rambut, dari pada meluangkan 1 jam bersama anak mereka”. Anak perlu waktu sendiri untuk merasakan kebosanan, sebab hal itu akan memacu anak memunculkan kreatifitas tumbuh.
5. Bertengkar Dihadapan Anak
Menurut psikiater Sara B. Miller, Ph.D., perilaku yang paling berpengaruh merusak adalah “bertengkar” dihadapan anak. Saat orang tua bertengkar didepan anak mereka, khususnya anak lelaki, maka hasilnya adalah seorang calon pria dewasa yang tidak sensitif yang tidak dapat berhubungan dengan wanita secara sehat. Orang tua seharusnya menghangatkan diskusi diantara mereka, tanpa anak-anak disekitar mereka. Wajar saja bila orang tua berbeda pendapat tetapi usahakan tanpa amarah. Jangan ciptakan perasaan tidak aman dan ketakutan pada anak.
6. Tidak Konsisten
Anak perlu merasa bahwa orang tua mereka berperan. Jangan biarkan mereka memohon dan merengek menjadi senjata yang ampuh untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang tua harus tegas dan berwibawa dihadapan anak.
7. Mengabaikan Kata Hati
Menurut Lisa Balch, ibu dua orang anak, “lakukan saja sesuai dengan kata hatimu dan biarkan mengalir tanpa mengabaikan juga suara-suara disekitarnya yang melemahkan. Saya banyak belajar bahwa orang tua seharusnya mempunyai kepekaan yang tajam tentang sesuatu”.
8. Terlalu Banyak Nonton TV
Menurut Neilsen Media Research, anak-anak Amerika yang berusia 2-11 tahun menonton 3 jam dan 22 menit siaran TV sehari. Menonton televisi akan membuat anak malas belajar. Orang tua cenderung membiarkan anak berlama-lama didepan TV dibanding mengganggu aktifitas orang tua. Orang tua sangat tidak mungkin dapat memfilter masuknya iklan negatif yang tidak mendidik.
9. Segalanya Diukur Dengan Materi
Menurut Louis Hodgson, ibu 4 anak dan nenek 6 cucu, “anak sekarang mempunyai banyak benda untuk dikoleksi”. Tidaklah salah memanjakan anak dengan mainan dan liburan yang mewah. Tetapi yang seharusnya disadari adalah anak Anda membutuhkan quality time bersama orang tua mereka. Mereka cenderung ingin didengarkan dibandingkan diberi sesuatu dan diam.
10. Bersikap Berat Sebelah
Beberapa orang tua kadang lebih mendukung anak dan bersikap memihak anak sambil menjelekkan pasangannya didepan anak. Mereka akan hilang persepsi dan cenderung terpola untuk bersikap berat sebelah. Luangkan waktu bersama anak minimal 10 menit disela kesibukan Anda. Dan pastikan anak tahu saat bersama orang tua adalah waktu yang tidak dapat diinterupsi.

B. TIPS MENGATASI ANAK YANG MALAS BELAJAR
 
Beberap hari lalu saya sempat berdiskusi dengan teman sekos saya, mulanya beliau bercerita tentang adik laki-lakinya yang malas untuk belajar padahal sebentar lagi dia akan menghadapi ujian akhir kelulusan SD. Sebuat saja namanya “Ardi”, Ardi ini termasuk anak yang belum bisa belajar dengan baik atau masih malas-malasan, kalaupun dia belajar itu hanya untuk menghindari omelan kakak dan ibunyan yang selalu menyuruhnya untuk belajar, dan bisa ditebak selama dia di ruang belajar yang dilakukan pun hanya pura-pura belajar atau belajar asal-asalan, sekolah pun hanya sekedar sebagai rutinitas seharian yang hanya berlalu begitu saja, sekedar menuruti perintah orang tua.

Apa yang terjadi pada Ardi sebenarnya juga banyak dialami anak-anak usia sekolah di masyarakat kita. Tak terhitung lagi berapa banyak orang tua yang mengeluh dan kecewa dengan nilai anaknya yang jeblok (jelek) karena anaknya malas belajar, dan sebaliknya tidak jarang juga kita menemukan anak yang ngambek atau menagis gara-gara selalu disuruh belajar. Ada orang tau yang memarahi anaknya, mengancam si anak untuk tidak akan membelikan ini dan itu kalau si anak tidak belajar, membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain, atau bahkan ada orang tua yang mengunakan cara kekerasan (menjewer, menyentil, mencubit, atau memukul). Jelas semua ini akan sangat berpengaruh pada fisik maupun psikis siswa.
Lalu sebenarnya bagaimanakah cara untuk mengatasi anak yang malas belajar? Masih perlukan kita dengarkan keluhan-keluahn orang tua tentang anaknya yang malas belajar? Haruskah anak itu ngambek atau menagis gara-gara dimarahin orang tuanya dan disuruh-suruh untuk belajar?
Untuk mengatasi permasalahan tersebut ada baiknya kalau terlebih dahulu kita mencari penyebab dari prikalu malas belajar, kemudian baru mencari solusi guna mengatasinya. Betul Bu/Pak....? :D

Malas belajar pada anak secara psikologis merupakan wujud dari melemahnya kondisi mental, intelektual, fisik, dan psikis anak. Malas belajar timbul dari beberapa faktor, untuk lebih mudahnya terbagi menjadi dua faktor besar, yaitu: 1) faktor intrinsik ( dari dalam diri anak), dan 2) Faktor ekstrinsik (faktor dari luar anak).

1. Dari Dalam Diri Anak (Intrinsik)
Rasa malas untuk belajar yang timbul dari dalam diri anak dapat disebabkan karena kurang atau tidak adanya motivasi diri. Motivasi ini kemungkinan belum tumbuh dikarenakan anak belum mengetahui manfaat dari belajar atau belum ada sesuatu yang ingin dicapainya. Selain itu kelelahan dalam beraktivitas dapat berakibat menurunnya kekuatan fisik dan melemahnya kondisi psikis. Sebagai contoh, terlalu lama bermain, terlalu banyak mengikuti les ini dan les itu, terlalu banyak mengikuti ekstrakulikuler ini dan itu, atau membantu pekerjaan orangtua di rumah, merupakan faktor penyebab menurunnya kekuatan fisik pada anak. Contoh lainnya, terlalu lama menangis, marah-marah (ngambek) juga akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak.

2. Dari Luar Anak (Ekstrinsik)
Faktor dari luar anak yang tidak kalah besar pengaruhnya terhadap kondisi anak untuk menjadi malas belajar. Hal ini terjadi karena:

a. Sikap Orang Tua
Sikap orang tua yang tidak memberikan perhatian dalam belajar atau sebaliknya terlalu berlebihan perhatiannya, bisa menyebabkan anak malas belajar. Tidak cukup di situ, banyak orang tua di masyarakat kita yang menuntut anak untuk belajar hanya demi angka (nilai) dan bukan mengajarkan kepada anak akan kesadaran dan tanggung jawab anak untuk belajar selaku pelajar. Akibat dari tuntutan tersebut tidak sedikit anak yang stress dan sering marah-marah (ngambek) sehingga nilai yang berhasil ia peroleh kurang memuaskan. Parahnya lagi, tidak jarang orang tua yang marah-marah dan mencela anaknya bilamana anak mendapat nilai yang kuang memuaskan. Menurut para pakar psikologi, sebenarnya anak usia Sekolah Dasar janga terlalu diorentasikan pada nilai (hasil belajar), tetapi bagaimana membiasakan diri untuk belajar, berlatih tanggung jawab, dan berlatih dalam suatu aturan.

b. Sikap Guru
Guru selaku tokoh teladan atau figur yang sering berinteraksi dengan anak dan dibanggakan oleh mereka, tapi tidak jarang sikap guru di sekolah juga menjadi objek keluhan siswanya. Ada banyak macam penyebabnya, mulai dari ketidaksiapan guru dalam mengajar, tidak menguasai bidang pelajaran yang akan diajarkan, atau karena terlalu banyak memberikan tugas-tugas dan pekerjaan rumah. Selain itu, sikap sering terlambat masuk kelas di saat mengajar, bercanda dengan siswa-siswa tertentu saja atau membawa masalah rumah tangga ke sekolah, membuat suasana belajar semakin tidak nyaman, tegang dan menakutkan bagi siswa tertentu.

c. Sikap Teman
Ketikan seorang anak berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah, tentunya secara langsung anak bisa memperhatikan satu sama lainnya, sikap, perlengkapan sekolah, pakaian dan asesoris-asesoris lainnya. Tapi sayangnya tidak semua teman di sekolah memiliki sikap atau perilaku yang baik dengan teman-teman lainnya. Seorang teman yang berlebihan dalam perlengkapan busana sekolah atau perlengkapan belajar, seperti sepatu yang bermerk yang tidak terjangkau oleh teman-teman lainnya, termasuk tas sekolah dan alat tulis atau sepeda dan mainan lainnya, secara tidak langsung dapat membuat iri teman-teman yang kurang mampu. Pada akhirnya ada anak yang menuntut kepada orang tuanya untuk minta dibelikan perlengkapan sekolah yang serupa dengan temannya. Bilamana tidak dituruti maka dengan cara malas belajarlah sebagai upaya untuk dikabulkan permohonannya.

d. Suasana Belajar di Rumah
Bukan suatu jaminan rumah mewah dan megah membuat anak menjadi rajin belajar, tidak pula rumah yang sangat sederhana menjadi faktor mutlak anak malas belajar. Rumah yang tidak dapat menciptakan suasana belajar yang baik adalah rumah yang selalu penuh dengan kegaduhan, keadaan rumah yang berantakan ataupun kondisi udara yang pengap. Selain itu tersedianya fasilitas-fasilitas permainan yang berlebihan di rumah juga dapat mengganggu minat belajar anak. Mulai dari radio tape yang menggunakan kaset, CD, VCD, atau komputer yang diprogram untuk sebuah permainan (games), seperti Game Boy, Game Watch maupun Play Stations. Kondisi seperti ini berpotensi besar untuk tidak terciptanya suasana belajar yang baik.

e. Sarana Belajar
Sarana belajar merupakan media mutlak yang dapat mendukung minat belajar, kekurangan ataupun ketiadaan sarana untuk belajar secara langsung telah menciptakan kondisi anak untuk malas belajar. Kendala belajar biasanya muncul karena tidak tersedianya ruang belajar khusus, meja belajar, buku-buku penunjang (pustaka mini), dan penerangan yang bagus. Selain itu, tidak tersediannya buku-buku pelajaran, buku tulis, dan alat-alat tulis lainnya, merupakan bagian lain yang cenderung menjadi hambatan otomatis anak akan kehilangan minat belajar yang optimal.

Enam langkan untuk mengatasi mals belajar pada anak dan membantu orangtua dalam membimbing dan mendampingi anak yang bermasalah dalam belajar antara lain:

1. Mencari Informasi
Orangtua sebaiknya bertanya langsung kepada anak guna memperoleh informasi yang tepat mengenai dirinya. Carilah situasi dan kondisi yang tepat untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dengannya. Setelah itu ajaklah anak untuk mengungkapkan penyebab ia malas belajar. Pergunakan setiap suasana yang santai seperti saat membantu ibu di dapur, berjalan-jalan atau sambil bermain, tidak harus formal yang membuat anak tidak bisa membuka permasalahan dirinya.

2. Membuat Kesepakatan bersama antara orang tua dan anak.
Kesepakatan dibuat untuk menciptakan keadaan dan tanggung jawab serta memotivasi anak dalam belajar bukan memaksakan kehendak orang tua. Kesepakatan dibuat mulai dari bangun tidur hingga waktu hendak tidur, baik dalam hal rutinitas jam belajar, lama waktu belajar, jam belajar bilamana ada PR atau tidak, jam belajar di waktu libur sekolah, bagaimana bila hasil belajar baik atau buruk, hadiah atau sanksi apa yang harus diterima dan sebagainya. Kalaupun ada sanksi yang harus dibuat atau disepakati, biarlah anak yang menentukannya sebagai bukti tanggungjawabnya terhadap sesuatu yang akan disepakati bersama.

3. Menciptakan Disiplin.
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk menciptakan kedisiplinan kepada anak jika tidak dimulai dari orang tua. Orang tua yang sudah terbiasa menampilkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari akan dengan mudah diikuti oleh anaknya. Orang tua dapat menciptakan disiplin dalam belajar yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Latihan kedisiplinan bisa dimulai dari menyiapkan peralatan belajar, buku-buku pelajaran, mengingatkan tugas-tugas sekolah, menanyakan bahan pelajaran yang telah dipelajari, ataupun menanyakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam suatu pelajaran tertentu, terlepas dari ada atau tidaknya tugas sekolah.

4. Menegakkan Kedisiplinan.
Menegakkan kedisiplinan harus dilakukan bilamana anak mulai meninggalkan kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati. Bilamana anak melakukan pelanggaran sedapat mungkin hindari sanksi yang bersifat fisik (menjewer, menyentil, mencubit, atau memukul). Untuk mengalihkannya gunakanlah konsekuensi-konsekuensi logis yang dapat diterima oleh akal pikiran anak. Bila dapat melakukan aktivitas bersama di dalam satu ruangan saat anak belajar, orang tua dapat sambil membaca koran, majalah, atau aktivitas lain yang tidak mengganggu anak dalam ruang tersebut. Dengan demikian menegakkan disiplin pada anak tidak selalu dengan suruhan atau bentakan sementara orang tua melaksanakan aktifitas lain seperti menonton televisi atau sibuk di dapur.

5. Ketegasan Sikap
Ketegasan sikap dilakukan dengan cara orang tua tidak lagi memberikan toleransi kepada anak atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya secara berulang-ulang. Ketegasan sikap ini dikenakan saat anak mulai benar-benar menolak dan membantah dengan alasan yang dibuat-buat. Bahkan dengan sengaja anak berlaku ’tidak jujur’ melakukan aktivitas-aktivitas lain secara sengaja sampai melewati jam belajar. Ketegasan sikap yang diperlukan adalah dengan memberikan sanksi yang telah disepakati dan siap menerima konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukannya.

6. Menciptakan Suasana Belajar
Menciptakan suasana belajar yang baik dan nyaman merupakan tanggung jawab orangtua. Setidaknya orang tua memenuhi kebutuhan sarana belajar, memberikan perhatian dengan cara mengarahkan dan mendampingi anak saat belajar. Sebagai selingan orangtua dapat pula memberikan permainan-permainan yang mendidik agar suasana belajar tidak tegang dan tetap menarik perhatian.

Ternyata malas belajar yang dialami oleh anak banyak disebabkan oleh berbagai faktor. Oleh karena itu sebelum anak terlanjur mendapat nilai yang tidak memuaskan dan membuat malu orangtua, hendaknya orang tua segera menyelidiki dan memperhatikan minat belajar anak. Selain itu, menumbuhkan inisiatif belajar mandiri pada anak, menanamkan kesadaran serta tanggung jawab selaku pelajar pada anak merupakan hal lain yang bermanfaat jangka panjang. Jika enam langkah ini dapat diterapkan pada anak, maka sudah seharusnya tidak adalagi keluhan dari orang tua tentang anaknya yang malas belajar atau anak yang ngambek karena selalu dimarahi orang tuanya.

Sumber Bacaan
http://anaprivat.blogspot.com/
www.keluargabahagia.com
http://id.answers.yahoo.com/


C. 5 TRIK PENDIDIKAN ANAK TERBAIK

Anak malas? Susah
diatur? Kurang berprestasi di sekolah? Susah
untuk konsentrasi? Sering membuat ulah atau masalah? Hiperaktif, bandel, nakal,
inferior, acuh?

Demikian kurang lebih serangkaian
permasalahan yang barangkali kerap dihadapi oleh kita, para orang
tua. Apa, siapa yang salah? Bagaimana mengatasinya? Menyekolahkan anak di sekolah
favorit, belum tentu menyelesaikan permasalahan ini.

Baiknya kita tidak perlu buru-buru
menyimpulkan “ketidakmampuan” si anak, atau guru dan sekolahnya, sebelum
membaca tulisan ini (he..he.. promosi nih…).

“Tiap anak adalah individu
yang unik” Kenyataan inilah yang musti tertanam kuat pada kesadaran pikiran
kita.

Kakak-adik saudara kandung, yang
berasal dari rahim yang sama, ayah yang sama, dididik dalam keluarga yang sama,
tumbuh dalam lingkungan yang sama pula, sekolahnya pun sama, pun demikian, tetap
saja keunikan individu tiap anak
tetaplah eksist. Mulai dari sifat, tabiat, karakter, kecenderungan personal
pada tiap anak, bahkan sampai pretasinya, juga berbeda-beda.

Maka, berangkat dari kondisi
internal personal si anak yang berbeda-beda tersebut (unik), kita akhirnya
menyadari bahwa penerapan pola asuh ataupun sistem pendidikan yang seragam
(generic), bisa jadi memang kondusif pada type anak tertentu, dan bisa jadi kurang
kondusif atau justru malahan kontra produktif pada type anak yang lainnya.

Berhubung hampir semua sekolah
formal yang ada menerapkan sistem dan pola pendidikan yang (relatif) sama, maka
pada akhirnya, pendidikan non-formal di keluarga-nyalah yang menjadi faktor
penentu nan penting.

Berikut 5 tips untuk meningkatkan
kwalitas pendidikan anak dari lingkup keluarga.

Jaga Citra
Diri Anak. Ketika para orang tua bertemu, entah ketika dengan sesama
teman, saudara, bertamu, atau ketika ngerumpi dengan para tetangga, tidak
jarang anak menjadi obyek pembicaraanya. Hendaknya dihindari keluhan atau
ungkapan negatif tentang anak, terutama ketika si anak bisa mendengar langsung
pembicaraan tersebut. Karena disadari atau tidak, hal demikian membentuk
citra negatif pada diri si anak.

Misalnya
ungkapan seperti “Kalau si adik mah susah dibilangin, heran deh…”

“Anak saya
yang nomor dua itu, susahnya minta ampun kalau disuruh belajar”

“Si Ujang manjanya
nggak karuan, sukanya bantingin apa aja kalau lagi ngambek”

Apalagi sampai
mengadu, misalnya ke ayahnya (suami) “Coba bayangin pa, si bontot dari siang
main PS terus gak mau berhenti, sampai lupa sholat, lupa makan, gak mandi,…”

Termasuk dalam
hal ini, membandingkan si anak yang satu dengan yang lainya (atau anak yang lain).
Sebaiknya hindari juga.

Tentu saja
memantau kekurangan atau kelemahan si anak, membandingkan dengan keadaan anak
yang lainnya, memang perlu, sangat perlu bahkan. Tapi hendaknya hal tersebut dibicarakan
di forum “prifat atau eksklusif” dimana si anak tidak mendengarnya.
Itupun konteksnya adalah menganalisa perkembangan si anak, dalam rangka mencari
treatmen atau tindakan perbaikan selanjutnya. Bukan dalam rangka ngegosip yang
sifatnya hanya menjadi komoditas perbincangan saja.

Ungkapkanlah,
hal-hal menonjol yang positif dari si anak, pujian dan kebanggaan, manakala
kita berbincang-bincang dengan orang
lain dan ketika si anak bisa mendengarnya. Hal ini akan menumbuhkan citra diri
yang positif si anak, confidence dan kenyamanan.

Anak dengan
citra diri posistif yang kuat, confidence yang kental, nyaman dengan
lingkungannya, Insya Allah merupakan modal awal dalam meningkatkan prestasi di
bidang-bidang yang lainya.

Sensistifitas
Motivasi. Memberikan atau mengiming-imingi anak dengan suatu hadiah
fisik (material), supaya anak melakukan hal-hal yang kita inginkan dalam
rangka memotivasi anak, memang perlu, tapi sebaiknya dibatasi, jangan
terlalu sering atau terus menerus. Karena hal ini secara tidak langsung,
kita mendidik “materilistis” atau pengharapan pamrih/imbal balik. Dan
dalam taraf tertentu, hal ini sangat potensial untuk menghilangkan konsep;
kesadaran, kewajiban, ketanggapan, keikhlasan, pada jiwa si anak.

Memang, anak
mana sih yang nggak suka coklat, kue, mainan baru, tamasya? Maka, motivasi
dengan hadiah-hadiah memang dirasakan cukup efektif. Tapi apakah hal ini
benar-benar mendidik si anak? Atau hanya suatu stimulus yang sifatnya instant
dan temporer? Karena nafsu dasar manusia adalah “ingin lebih”, maka pola
perilaku demikian sering menjadi bumerang bagi orangtua.

Ada
alternatif lain yang lebih mendidik dengan efktifitas yang relatif sama dengan
pemberian hadiah materi.

Upayakan
eksplorasi yang lebih dalam tentang hal-hal non-materi yang menjadi
sensitifitas si anak. Biasanya si anak mempunyai suatu hal yang digemari, yang
sering dia bicarakan atau ceritakan. Walaupun kadang memang sering gonta-ganti,
tapi ladeni dan teruskan eksplorasi saja. Kemudian transfer-lah penjiwaan tadi
pada kenyataan
di lingkup si anak.

Misalnya, si
anak sangat gemar sekali dengan film/komik Naruto. Mungkin memang perlu
memberikan mainan atribut Naruto, tapi manfaatkan momentum mendidik anak, dengan
“penjiwaan” Naruto yang ditransfer pada lingkup realita si anak.

Misalnya
menggiring si anak “Naruto itu keren banget ya? Yang keren dari Naruto itu
apanya sih…?”

Misalnya
sifat-sifat baiknya yang rela berkorban untuk orang2 yang disayang, tidak
cengeng, berusaha dengan sungguh-sungguh.

Kemudian
diajak untuk membangun motivasi “Kalau adik, sudah keren kayak Naruto apa belum
ya?”

Dan diarahkan
doktrin yang mengarah pada implementasi praktisnya

“Adik ikut
kursus Karate aja, biar keren.”

“Adik kan
nggak cengeng, bearti sudah keren dong”

“Biar keren,
adik mau kan berkorban untuk
orang yang adik sayangi? Adik Sayang Mama kan? Kalo adik mau berkorban demi
Mama, baiknya adik melakukan apa ya?”
dst.

Dan hal serupa
bisa dilakukan dengan tema yang beraneka ragam tergantung pada sensitifitas
yang sedang dilanda si anak.

Memang tidaklah
mudah dalam mengolah dan menggiringnya, dan hasilnyapun tidak bisa langsung
terjadi, dan biasanya butuh waktu serta pengulangan berkali-kali hingga bisa
terlihat dampak praktisnya maupun tumbuh penjiwaannya.

Subyektifitas
Tema. Bagi anak yang agak tertinggal pelajaran di sekolahnya,
terkadang pemicu permasalahannya adalah tentang “kemasan penyampaian” yang
kurang menarik bagi anak saja.

Misalnya, si anak
agak lemah pada pelajaran matematika. Bisa diupayakan membantu memahami dengan
menggunakan tema-tema yang disukai si anak. Katakanlah si anak sangat gandrung
dengan Superman, bisa dicoba sebagai tema sentralnya, misalnya;

Wah Superman
harus menyelamatkan planet Jupiter yang terkena radiasi Gumma, caranya Superman
harus terbang dengan kecepatan tinggi mengelilingi planet Jupiter. Lintasan
terbang Superman berbentuk …..LINGKARAN!

Atau dipakai
dengan yang lain, misalnya kalau mencegah serangan radiasi Gruyuk, harus
terbang dengan lintasan…. SEGITIGA.
Dst.

Superman
berhasil menangkap gerombolan penjahat, dan mau dibawa terbang ke penjara
Nusakambangan. Supaya Penjahatnya tidak mati ketika dibawa terbang dengan
kecepatan super, harus dimasukin ke kantong bioplasma. Satu kantung hanya muat
2 penjahat. Padahal penjahatnya ada 6, berarti Superman butuh berapa kantung
bioplasma..?
Dst.

Hal ini bisa
dicoba diterapkan pada pelajaran ataupun hal yang lainya. Memang dibutuhkan
kreatifitas orangtua untuk itu.

Pujian dan
“Acuh”. Dalam sistem professional, kita mengenal sistem reward and
punishment dalam rangka mensolidkan suatu tatanan budaya atau sistem nilai
tertentu. Hal yang mirip, bisa diterapkan dalam mendidik anak kita.

Pujilah si
anak, ketika ada hal-hal positif yang dia lakukan atau dia capai. Ekspresikan
perhatian, dan kasih sayang misalnya dengan pelukan atau ciuman.

Misal si anak
mengaku “Ma, kemarin adik ngambil uang dari dompet mama seribu, habis adik
pingin jajan sih”

Sebaiknya
jangan merespon dengan marah, ngomel2 bahwa ambil barang milik orang harus
bilang dulu, dst. Hargai kejujuran dan keterbukaan si anak. Pujilah
ketrusteranganya dan keterbukaanya, karena hal ini adalah lebih utama. Karena
dengan terbangunya keterbukaan dan keterusterangan, aneka masalah-masalah bisa
dipantau secara optimal.

Kalau toh
ingin “mengingatkan” si anak tentang ngambil barang orang
harus minta ijin, dst, baiknya lakukan di lain waktu, pada suasana yang lebih
fresh.
Sedangkan
hal-hal yang negatif, misalnya anak ngambek nangis, atau bahkan memporak
porandakan mainan, atau gulung-gulung badan, acuhkan saja. Jangan beri
perhatian. Seolah ungkapan verbal, “Hal itu nggak bagus, makanya nggak saya
perhatikan.” Si anak akan belajar untuk membiasakan terhadap hal-hal yang
positif dan belajar sistem komunikasi yang lebih membangun.

Kalau misalnya
si anak ngambek dan kita marah, ngomel, dst, seolah si anak secara verbal
berkata “Tuh kan, kalau saya
begini, baru kamu memperhatikan saya… Tuh kan,
kamu juga bingung dan kerepotan kalau saya begini…”

Dan tentu saja
hal ini tidak berlaku ketika si anak menangis karena menderita kesakitan atau
kelaparan, tentu harus kita perhatikan betul-betul.

Tunjukan
Contoh konkrit. Konsistenkan dan solidkan antara seruan normatif,
perintah verbal dan pengkondisian konkritnya. Misalnya menyuruh belajar, mungkin
lebih baiknya dibangun suasana “mengajak” anak belajar, dan kita sendiri juga
ikut terlibat, atau minimal kita mencontohkannya, misal kita juga membaca
buku, atau apa.

Hindari
perilaku ketika kita menyuruh si anak belajar sementara orangtuanya malah
nonton sintron, atau internetan.

Hindari
menyuruh anak sholat & ngaji misalnya, sementara orang tua justru tidak
melakukanya.

Orangtua
melarang berbohong, sementara ketika si anak ngangkat telepon, Bapaknya bilang
“Kalau Om Jono yang nyari, bilang aja Bapak lagi keluar.”

Hal demikian
ini jelas membangun ajaran “omong kosong” pada si anak.

Dan secara alam
bawah sadar, hal-hal yang kontradiktif tersebut akan merapuhkan prinsip nilai
yang dipegang si anak yg bisa jadi terakumulusi di kemudian hari.

Demikianlah sharing dari saya. Tentu
saja tidak bisa langsung diterapkan begitu saja pada anak-anak anda. Setidaknya
harapan penulis, gagasan atau wacana ini, bisa menginspirasi anda, dan anda sendirilah
yang berkreasi dengan praktik-praktik yang paling sesuai dengan kondisi anda
masing-masing.
 
sumber : Cerdasjenius.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar