Senin, 30 April 2012

Buah Hati

Sebuah keluarga yang berkecukupan tinggal disebuah kota. Sang ayah adalah seorang manajer pada sebuah perusahaan terkenal dengan gaji yang sangat tinggi, sementara isterinya bekerja pada sebuang Bank swasta dengan gaji yang juga lumayan tinggi. Anak mereka hanya dua orang yang satu sudah sekolah lanjutan pertama sedangkan yang kecil masih duduk dibangku SD.

Sebagai orang terpandang tentu mereka memilihkan sekolah-sekolah “favorit” yang ada dikota itu untuk anak-anak mereka, dengan sistem belajar yang lagi booming saat ini. Sistim fullday. Sekolah satu hari penuh. Sekoah P4, Pergi pagi pulang petang.  Tak perduli dengan seberapa mahal bayarannya,  bukanlah menjadi masalah. 

Saat menjelang senja anak-anak baru pulang sekolah, Ayah belum pulang sedang ada rapat katanya. Ibu baru pulang tapi kelelahan dan tertidur di sofa. Saat memasuki pintu rumah nan mewah sesungguhnya hati sang anak sangat ingin bercerita kepada kedua orang tuanya tentang peristiwa seru yang terjadi disekolahnya tadi. Tapi jangankan bercerita, menyapa saja mereka takut kena marah karena tahu orang tuanyasangat  lelah dan tak mau di ganggu.Akhirnya merekapun memilih diam, atau mengeluh kepada pembantu rumah tangga yang selalu setia mendengarkan. 

Gambaran keluarga yang seperti ini plus cara mendidik anak yang diterapkan dengan hanya membayar sekolah fullday untuk menjaga mereka, sekarang sudah sangat umum kita lihat. Bahkan menjadi trend bagi kalangan tertentu.  Dan hasilnya adalah seorang anak yang mungkin cerdas, pintar tetapi kering akan sentuhan kasih sayang kedua orang tuanya. Seorang anak yang kehilangan nilai-nilai keluarga sehingga menjadi tidak sensitif, dan cenderung menjadi generasi acuh. Dan dalam kondisi parah bisa saja kemudian dia akan mencari kasih  sayang lain dijalanan, mencari pengertian itu di tempat-tempat lain yang bisa dia dapatkan.

Sebab itu.......
Sesibuk apapun kita, mari kita sisihkan waktu kita sebanyak-banyaknya untuk mereka.... buah hati kita
Untuk mengajari mereka mengenal Tuhannya, mengajari mereka ngaji dan berakhlak, mendongeng satria bagi pribadi-pribadi seputih mereka. Sehingga akan terbentuklah pribadi yang paripurna yang pasti suatu saat akan membanggakan kita, orang tuanya. Jangan serahkan pembentukan anak hanya kepada orang lain, walaupun kita mampu membayar seribu maha guru. Sebab mereka adalah anak-anak kita, kitalah yang paling bertanggungjawab terhadap masa depan mereka.
 


Minggu, 29 April 2012

Melakukan Terbaik Mendapatkan Terbaik

Pernah saat memberikan ceramah pada suatu pengajian ibu-ibu tentang kewajiban seorang istri pada suaminya,saya diprotes habis oleh seorang ibu. Karena ia menganggap apa yang saya sampaikan tentang bagaimana Rasulullah Muhammad SAW membina kasih sayang didalam rumah tangganya tidak sesuai dengan kodisi real saat ini. Contoh konkritnya adalah apa yang ia hadapi. Dimana dia memiliki seorang suami yang jauh dari sifat-sifat Rasul sebagai suami yang sempurna. Suaminya lebih kerasan nongkrong diwarung kopi setriap hari dari pada bekerja, atau berkumpul dengan keluarga dirumah berbagai cinta dan kasih. Lalu masih pantaskah seorang suami yang seperti dihargai dan dihormati!!!

Saya langsung menjawabnya dengan sederhana. Perlu. Ya.... suami yang semacam ini, atau istri yang semacam ini bila ada, perlu tetap dihormati dan dihargai. Bahkan bila perlu paqsangan yang seperti ini harus diberi penghormatan, penghargaan dan pelayanan yang "terbaik" oleh kita. Mengapa demikian? Sebab bisa jadi Suami atau istri  yang seperti itu menjadi begitu karena selama ini dirinya tidak mendapatkan yang terbaik dirumahnya, tidak mendapatkan pelayanan terbaik, penghormatan dan penghargaan terbaik. Sehingga iapun mencari itu semua diluar rumah. Diwarung kopi, di kafe-kafe. di karaoke, tempat hiburan malam, dijalan-jalan atau ditempat-tempat lainnya.

Tapi pasangan saya memang lain, dia memang tidak pernah memperhatikan kami, tidak bertanggungjawab, suka bohong, egois, dan seterusnya, dan seterusnya, pokoknya memang pasangan  saya tidak bisa diharapkan. Saya sudah coba melayani tetapi dia selalu kurang terima, selalu salah-selalu salah.

Jika demikianpun keadaannya, maka tetaplah berikan yang terbaik. Sebab terkadang kita merasa sudah .
memberikan yang terbaik, namun sesungguhnya itu hanyalah suara ego kita, suara ketidak ikhlasan kita. Yang sebenarnya kita bahkan belum melakukan apa-apa, belum melakukan yang terbaik untuk pasangan kita dan keluaraga kita, namun disaat yang sama kita telah sangat mengharapkan sebuah imbal balik dari mereka semua. Dan ketika imbal balik itu, apapun bentuknya, tidak kita dapatkan. Maka kitapun menjadi kecewa. lalu merasa mereka tidak adil, sudah zalim dan menyakiti kita.

Membangun keluarga tidak akan pernah sukses ketika kita masih mengedepankan ego kita masing-masing. Menunggu pasangan kita berbuat yang terbaik untuk kita dan keluarga adalah sesuatu yang salah. Tetapi memulai melakukan sesuatu yang terbaik bagi pasangan dan keluarga adalah sebuah langkah yang sangat bijak. Sebab hanya orang orang yang selalu melakukan tindakan terbaik, yang pasti akan mendapatkan balasan yang terbaik pula, cepat atau lambat.


Jumat, 27 April 2012

Memiliki dan Mencintai

"Bila engkau tidak dapat memiliki apa yang engkau cintai, maka cintailah apa yang engkau miliki."
Entah kapan dan darimana  pertama sekali saya menemukan kalimat yang menurut saya sangat indah ini. Sayapun lupa, dari sumber bacaan mana atau catatan siapa. tapi yang jelas sejak pertama kali saya menemukannya sampai sekarang kalimat itu masih terus tertancap dalam pemikiran saya.

Realitasnya kita memang sering mengalaminya. Sering kita amat mencintai dan menginginkan sesuatu menjadi milik kita tetapi hal itu tidak dapat terpenuhi karena berbagai faktor. Termasuk saat kita menetapkan hati hendak mencari pasangan hidup yang akan kita pilih sebagai pendamping hidup dunia akhirat idealnya. Tatkala kita mengarahkan hati kepada Aminah belum tentu Aminahlah yang kemudian menjadi jodoh kita, demikian tatkala kita mengarahkan hati pada Aisyah, eh ternyata Aminahlah yang kemudian kita nikahi.

Dalam kondisi itu cepat atau lambat hati kita sering berbolak balik, wajar karena memang itu bagian dari fitrah. Dan dalam keadaan parah kondisi itupun kadang bisa menjadi badai dalam sebuah biduk rumah tangga yang memukul berkali-kali sehingga membuat kita panik karenanya.

Jalan hidup yang kita jalani terkadang memang tidak selalu sama dengan pengharapan dan keinginan kita. Termasuk dalam hal jodoh.Tapi sesungguhnya jodoh kita saat ini, istri atau suami kita saat ini, itulah ketetapan Tuhan yang terbaik bagi kita, Kedhaifan kita saja yang menjadi penyebab kita tak mampu mendeteksi kesempurnaan pilihan Tuhan itu.

Maka bagi siapapun yang mungkin hari ini berjodoh dengan orang yang sesungguhnya bukan pilihan utama hatinya dulu. Berbahagialah. Sebab Tuhan, Allah Swt,  sangat mengasihimu, dengan telah memilihkanmu jodoh yang terbaik  menurutNya. Karena itu, bila engkau tidak dapat memiliki apa yang engkau cintai, maka cintailah apa yang engkau miliki.

Kamis, 26 April 2012

my family


Kesetiaan 2

Sebab Setia

Sewaktu saya belum berumah tangga, pernah seorang bapak bertanya kepada saya tentang apa penyebab dari kelanggengan sebuah rumah tangga. dan dengan penuh keyakinan saya menjawab bahwa "cinta" lah yang menjadi sebab kelanggengan sebuah rumah tangga. Namun Dengan penuh kearifan Bapak itu menolak jawaban saya, katanya jawaban saya salah. Menurutnya bukanlah cinta yang menyebabkan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga, bukanlah cinta yang menyebabkan keluarga bisa awet sakinah mawaddah wa rahmah.

Saya protes. Tapi dia malah tersenyum. Menurutnya anak-anak keturunanlah yang menyebabkan sebuah keluarga itu langgeng. Sedangkan cinta itu cuma omong kosong, cuma perasaan yang dibuat-buat dan berlebih-lebihan, kalaupun cinta itu ada, katanya. Maka sesungguhnya ia cuma sebuah bagian dari sifat inkonsistensi yang tak pernah stabil. Buktinya apa yang kita puja dan cinta  kemaren, belum tentu  hari ini masih kita puja dan kita cinta. Pasangan kita yang kita anggap paling sempurna kemaren bisa jadi besok kita lihat sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan dan sifat buruk yang sangat tidak kita suka, dan karenanya kita sudah tidak lagi cinta. Apalagi ketika kita lihat orang lain yang lebih sempurna, gagah atau cantik. Maka anehnya cinta itupun bisa berkhianat, membawa kita lari dari pasangan-pasangan kita yang sudah dipilihkan Allah. Setuju atau tidak....terserah kita. Ini toh cuma pendapat bapak-bapak zaman dulu.

Menurutnya anak-anaklah yang menyebabkan keluarga itu bisa bertahan selama-lamanya. sampai batas umur tiba. Karena segala sesuatu yang terjadi menghantam bahtera rumah tangga, akan teredam ombaknya demi anak-anak yang hakekatnya merupakan hasil cinta.
Katanya...
kita akan terpaksa menerima apapun kekurangan pasangan kita demi anak-anak, demi sang buah hati. Kenakalan dan keliaran hati kita yang bernama cinta menjadi jinak tatkala kita menatap mata lugu anak-anak kita dan membayangkan mereka akan  jadi kebanggan-kebanggan  dimasa depan.
Merekalah penghilang lelah kita, mata air semangat yang tak pernah kering, dan motivasi kita memeras pikiran dan keringat untuk sebuah taraf kehidupan yang disebut sejahtera.
Merekalah malaikat-malaikat kecil yang selalu menjaga kita agar tetap bekerja dijalan yang benar,
menegur kita kala hendak bermaksiat dan mengawasi kesetiaan kita dengan perasaannya yang amat sangat lembut, selembut salju putih yang tak bernoda.
Merekalah gembala yang mengikat kita pada tiang-tiang kesetiaan
Jadi anaklah segala-galanya, dan yang menjadi penyebab sesungguhnya bagi kelanggengan sebuah rumah tangga.
Wallahua'lam.


Selasa, 24 April 2012

Kesetiaan 1

Kalau kita bisa kembali kemasa lalu, maka mungkin masa lalu yang paling kita inginkan untuk bisa kembali kesana adalah masa kecil dan masa remaja yaitu masa berkenalan, atau masa ta'aruf, atau masa pacaran menurut bahasa yang umum kita kenal sekarang. Mengapa demikian.... Karena masa kecil adalah masa paling indah dimana kita tidak pernah mengenal problem hidup apapun, kecuali sepenuh hari hanya diliputi berbagai macam permainan-permainan yang tak terlupakan sampai saat ini. Dan yang kedua yang tak terlupakan keindahannya adalah masa berkenalan, masa dimana kita mengadakan pendekatan-pendekatan pribadi terhadap pasangan-pasangan kita saat ini. Merekalah suami kita atau istri tercinta kita.
 
Dan sesungguhnya salah satu  satu resep yang membuat kebahagiaan berkeluarga itu bisa  awet adalah dengan selalu menghidupkan masa-masa berpacaran, masa-masa berkenalan, yang dahulu pernah kita lewati bersama dia.
kalau dulu kita selalu  memanggilnya "sayang", maka hari ini kita harus kembali memanggilnya "sayang"
kalau dulu kita selalu memanggilnya "cinta", maka panggillah hari ini dia dengan "cinta"
kalau dulu kita selalu memanggilnya "kasih", maka hari ini dia sangat ingin kita panggil "kasih"
kalau dulu kita sering memujinya, maka pujilah ia hari ini juga
Kalau dulu kita selalu membelanya sepenuh raga, maka tunjukkan pembelaan itu kembali hari ini

Ambillah waktu dari hiruk pikuknya dunia untuk sekedar menikmati semangkuk bakso dan segelas jus jeruk berdua. Sebab bagaimanapun keadaan pasangan kita hari ini, yang sudah pasti jauh berbeda dengan saat kita pertama berkenalan dulu, tapi bukankah dia pernah menjadi manusia yang paling kita rindukan dan paling kita banggakan.......................Dan mungkin inilah yang disebut dengan kesetiaan.

Senin, 23 April 2012

Seorang sahabat saya yang telah lebih sepuluh tahun berumah tangga namun belum juga dikaruniai anak pernah berkata, alangkah bahagianya orang-orang yang dikaruniai keturunan itu, sayang aku tidak bisa seperti mereka, andai kami diberi keturunan tentu kami akan merawat dan membesarkannya sepenuh hati dengan penuh kasih sayang, katanya. Sebagai sahabat tentu saya tidak ingin membuat gundahnya semakin dalam, yang bisa saya lakukan hanyalah dengan membesarkan hatinya, bahwa Tuhan lebih tahu apa yang terbaik bagi dirinya.

Pagi itu saya baru keluar dari rumah dengan mengendarai sepeda motor kesayangan, belum jauh jarak dari rumah nampak seorang bapak yang saya kenal sedang berlari-lari kecil mengejar anaknya yang menangis dengan memegang gagang sapu yang cukup besar. Tidak begitu jauh didepan rumah mereka seorang ibu berteriak-teriak mencaci maki sang anak yang tengah berlari sekencang-kencangnya menghindari amukan kedua orang tuanya.

Ironi sekali. satu sisi kita melihat  ada keluarga yang amat sangat menginginkan anak namun belum diberi rezeki untuk itu, dan di sisi lain ada keluarga yang dikaruniai anak satu, dua, tiga bahkan lebih, namun tak pandai merawat anak-anaknya, apalagi mencintai dan menyayangi dengan sepenuh-penuh hatinya. Inilah sebuah kesimpulan sederhana dari dua sisi kejadian yang saya persaksikan tadi. Sebuah kesimpulan yang bisa jadi benar namun bisa jadi juga salah, sebab tentu kita membutuhkan pendalaman atas kedua peristiwa tersebut tentang kesungguhan maksud dan latar belakangnya.

Namun secara jujur, bukankah yang seperti ini sering kita persaksikan. Betapa keluarga dan rumahtangga belum menjadi tempat yang menyejukkan bagi setiap anggota yang ada didalamnya, termasuk bagi seorang anak.

Minggu, 22 April 2012

Baiti Jannati di Rumah Hidayah


Suatu ketika sang Manusia sempurna Rasulullah SAW, Nabi semua umat, telah mewasiatkan kepada kita  sebuah kata sederhana namun sarat makna. Baiti jannati, rumahku adalah surgaku.  Sebuah kata yang sesungguhnya adalah merupakan solusi dari semua krisis dunia yang melanda saat ini. Ya...baiti jannati.

Mari membayangkan dan mengkhayal,
andainya rumah kita adalah sebuah rumah yang baiti jannati,
andainya keluarga kita adalah sebuah keluarga yang baiti jannati,
andainya lingkungan kita juga baiti jannati,
kampung dan kota kitapun baiti jannati,
maka akan lahirlah kecamatan yang baiti jannati, kabupaten kota yang baiti jannati, provinsi yang baiti jannati,
dan mimpi kita yaitu menemukan sebuah negara yang baiti jannati bahkan dunia yang baiti jannati, yang menjadi seperti surga bagi semua makhluk penghuninya akan dapat terwujud.

Mengapa demikian?
Karena dari sebuah keluarga yang baiti jannati akan lahirlah manusia-manusia paripurna, akan lahir bapak-bapak teladan yang bisa menjadi pahlawan dan contoh bagi keluarganya, akan lahir ibu-ibu penyabar yang penuh kasih sayang, patuh kepada suami dan mengabdi penuh ikhlas kepada keluarganya, akan lahir anak-anak yang cerdas, shaleh dan baik hati.
Dari sebuah rumah yang baiti jannati akan lahir pemimpin pemimpin yang penuh rasa tanggung jawab, ikhlas, jujur, takut kepada Tuhannya dan selalu terdepan dalam membela rakyatnya.
Dari sebuah komunitas yang baiti jannati akan lahir masyarakat yang santun, berakhlak, demokratis dan taat aturan.

Karena itu, bertekadlah untuk menjadi pelopor baiti jannati, dan memulainya dari diri sendiri,  keluarga kita sendiri dan dari masyarakat kita sendiri.
Ambillah waktu sejenak untuk melihat kedalam diri kita,
betapa selama ini kita sangat tidak adil, mengacung-ngacungkan telunjuk kita untuk menelanjangi orang lain dengan sangat bernafsu melalui kesalahan-kesalahannya, namun kita lupa memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat kita sendiri.

Lingkaran syetan kehancuran masyarakat ini, kehancuran bangsa ini harus diretas. Dan menjadikan kekuarga kita menjadi keluarga yang baiti jannati, rumah kita menjadi rumah hidayah adalah solusinya. Ayo....Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.